Tulisan di status sebuah akun personal di medsos Facebook atas nama Agnes Tri Harjaningrum ini viral. Hingga berita ini diturunkan, tulisannya sudah mendapatkan 42ribu like dari netizen dan juga hampir 23ribu share.
Berikut tulisan yang membuat banyak netizen haru dan terharu…
Ini sebuah kisah nyata, tentang harga sebuah nyawa, dari seorang bayi mungil di sebuah desa. Ia anak pertama dari pasangan muda, lahirnya cukup bulan, dengan berat badan yang cukup pula. Sayangnya, si bayi yang lahir dengan operasi sesar ini keluar keplek, tidak langsung menangis. Ketuban ibunya pecah sudah lebih dari 24 jam, air ketubannya berbau dan berwarna seperti lumpur katanya.
Setelah dilakukan pertolongan pertama oleh dokter yang merawatnya, bayi ini lalu menangis tapi masih sesak. Usia dua hari, dirujuklah bayi ini ke rumah sakit tempat saya bekerja, sebuah rumah sakit kecil tipe D dengan peralatan masih serba seadanya, untungnya kami masih punya sebuah alat bernama CPAP (continuous positive airway pressure), alat bantu napas yang dengan tekanan dari oksigen dan udara yang dibuatnya kemudian membuat paru-paru bayi bisa tetap mengembang dan tidak colaps. Alat ini harganya puluhan juta, tapi punya satu saja rasanya sudah luar biasa, bisa menyelamatkan sedikit nyawa. Karena ada satu CPAP inilah maka si bayi di rujuk ke rumah sakit kami.
Awalnya semua berjalan lancar, dengan si magic CPAP, obat-obatan dan infus, si bayi tidak mengalami perburukan, meskipun belum membaik signifikan. Pada hari ke-lima perawatan setelah dievaluasi, karena perbaikan yang belum nyata, diputuskan untuk mengganti antibiotiknya, dan antibiotik ini baru masuk satu kali. Namun di tengah malam, sebuah pesan masuk ke ponsel saya, dari perawat yang jaga.”Dok, infus bayinya bengkak lo Dok, gimana ya, sudah dicoba berkali-kali belum bisa dapat lagi.”
Hmh..okee dan kabar buruknya adalah, karena infeksinya cukup berat, si bayi belum bisa minum.”Sudah dicoba minum ASI tadi pagi Dok, baru 5 ml tapi muntah.”
“Mba, tadi kan sudah coba di skip minum ya dan habis itu ga muntah, coba diminumkan lagi ya mba, semoga ga muntah dan kita naikan minum cepat karena ga ada akses infus. Bismillah ya mba..,” saran saya kepada perawatnya.
Saya kuatir jika diminumkan dan tetap muntah, sementara tidak ada akses cairan dan makanan yang masuk, dia bisa mengalami syok dan seketika perburukan.
Pagi harinya, akses vena kembali dicoba berkali-kali, perawat yang paling jago menginfus se-rumah sakit dikerahkan untuk memasang akses, sayangnya, hingga siang, akses belum juga terpasang.
“Sudah dapat tapi bengkak terus Dok. Sudah dapat tapi terus beku Dok,” kata mereka.
“Wah jangan-jangan ada masalah pembekuan darah, coba cek laboratorium sekalian ya mba untuk periksa ada masalah pembekuan darah atau tidak. Trus, minumnya gimana Mba bisa ga ya?”
“Ga bisa Dok, dikasih 5 ml muntah lagi.”
Hmh..oke baiklah, coba konsul dokter bedah dan anastesi ya, kita minta pasang akses femoral atau vena sectie, sambil kita cari rujukan. Mau ga mau, bayi ini harus dirujuk sebelum mengalami perburukan karena kurang cairan.
Sayangnya karena keterbatasan alat, akses vena besar di pembuluh darah paha (femoral) yang rencana akan dipasang pun hanya untuk sementara, jadi bagaimanapun harus tetap cari rujukan.
Sambil menunggu dokter anastesi mencari akses vena di paha, kami pun berjibaku mencari rujukan.
“Selamat siang, kami ingin merujuk bayi usia 5 hari, biaya BPJS, dengan diagnosis ini, terpasang alat ini, dan sudah diberi obat ini.ini dan ini…bla..bla..bla..”
Hasilnya? Satu, dua, tiga rumah sakit sekitar menolak. “Oke kita coba ke kota tetangga ya Bu,” kata saya pada bu bidan kepala ruangan.
“Empat, lima..dan 6 rumah sakit sudah dihubungi..semua penuh Dok…”
Hmh…dan saya pun menarik napas tak panjang sambil bergumam, Ya Allah, semoga akses femoral berhasil terpasang, jadi kita ga perlu rujuk bayi ini. Hasil laboratorium keluar, nilainya bagus semua lo, artinya kondisi membaik, bayi ini hanya butuh akses.
Sayangnya, kabar buruk lagi-lagi terdengar,”Sudah 4 kali dapat Dok, tapi terus beku lagi.” Dan akses femoral pun gagal. Tanda vital bayi sejauh ini masih terbilang stabil, tapi perfusi mulai memburuk, akral mulai dingin. OMG..what should I do, what should I do? Haruskah bayi yang sebetulnya mulai membaik ini mati hanya gara-gara tidak dapat akses vena dan rujukan? Masalahnya ini bayi cukup bulan dan besar, dan prognosisnya baik. Apakah harus mati sia-sia hanya gara-gara akses dan rujukan? Aaagrh…. Saya mulai kesal dan mengomel kepada teman-teman di WAG,”Ampuun ya ini negara, gimana sih supporting systemnya, mau rujuk aja susahnya setengah mati. Ggrh..”
Tapi kemudian saya teringat pesan guru saya sebelum melepas kami berangkat WKDS (Wajib Kerja Dokter Spesialis),” mungkin kalian kesal karena harus ditempatkan di daerah, berpisah dari orang-orang tersayang, tapi percayalah kalau kalian tidak kerja di daerah, kalian tidak akan tahu kondisi yang sesungguhnya di negeri ini. Dan pasti semua akan serba terbatas, tidak senyaman dan serba ada seperti di institusi kita, tapi dengan keterbatasan itulah kita dipacu untuk memakai ilmu yang ada.”
Oke pak Guru, I must admit, semua yang anda katakan benar-benar terbukti sekarang.
Saya mencoba lagi menghubungi satu rumah sakit besar, berharap dengan kebesarannya, ada satu saja tempat untuk bayi ini. Kebetulan telepon bisa tersambung dengan dokter anak konsultan NICU nya (sepertinya).”
“Maaf, rumah sakit kami juga penuh untuk bayi yang butuh CPAP,” katanya
“Hmm..baik Dok, maaf Dok kalau boleh minta saran, kira-kira apalagi yang saya bisa lakukan sambil menunggu dapat rujukan ya Dok?”
“Coba saja akses intraosseous (IO : memasukan jarum ke tulang muda di kaki yang bisa memberi akses ke sistem vascular dengan cepat). Kami beberapa kali bisa koq untuk menyelamatkan bayi,” kata sang Dokter.
Glek. Saya cuma bisa menelan ludah. Saya pernah sih melakukan IO waktu masa pendidikan tapi ke anak-anak, kalau ke bayi apalagi usia 5 hari, sama sekali belum pernah. Karena rumah sakit pendidikan kami dulu sangat besar dan serba lengkap, rasanya belum pernah ada kasus gagal akses pada bayi sehingga harus di IO. Saya pun segera mencari literature tentang IO pada neonatus, efek sampingnya cukup seram, bisa patah, nekrosis (infeksi berat hingga jaringan tulang membusuk), sindrom kompartement, bahkan resiko terburuk kehilangan kaki karena harus diamputasi. Resiko ini makin tinggi kalau IO terpasang lebih dari 1 x 24 jam bahkan ada yang bilang 20 jam. Oh my..God..tapi ini kondisi emergensi, kalau orangtua setuju setelah diberitahu resiko dan manfaatnya, ya mau tidak mau harus pilih, nyawa atau kaki!
Lalu saya pun mulai call for help ke teman-teman di WAG yang selama ini selalu sharing dan membantu kalau ada kasus-kasus mulai dari yang sederhana sampai yang sulit. “Gaes help…. Buat bayi 5 hari IO nya pake needle no berapa ya?” DI tempat seperti ini, jangan berharap bisa melakukan IO macam di luar negeri menggunakan alat seperti bor canggih dengan segala kemewahannya. Nope. Semua serba seadanya. “Bismillah ya gaes…doain gw…” dan teman-teman pun ikut menyemangati dan mendoakan secara virtual.
Setelah informed concent, ayah si bayi bergumam,”Resiko patah kaki Dok?” Tanyanya kaget, tapi kemudian ia hanya bisa pasrah,”Demi nyawanya, lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya Dok…”
Bismillah…tindakan IO pun dimulai…Jarum dimasukan ke tulang seperti nge-bor. Suara krek..krek terdengar, seseorang berteriak “Ouch..” Ngilu memang untuk yang baru pertama kali melihat dan mendengar. Tapi ini demi sebuah nyawa, Kawan. Dua kali menarik darah ditempat yang sama, darah keluar, tapi giliran infus dipasang, aliran seret dan macet. Saya coba sedikit tarik dan masuk kedalam jarumnya, tapi tetap saja gagal. Agrrh…hampir putus asa..tapi si bayi terdengar bereaksi dan menangis lemah, seperti bersuara meminta saya untuk tidak putus asa. Oke Debay, bismilah, kamu kuat, kita bisa ya…kata saya diam-diam ke adek bayi yang mulai perburukan.
“Saya coba sekali lagi ya Mba kalo ga berhasil, ga ada cara lain selain merujuk,” kata saya ke perawat.
Dengan bismilah, jarum kembali ditusukan, ke tulang di bawah lutut sedikit ke medial. Darah ditarik pelan-pelan…yeay.keluar…Coba infus dipasang, semoga jalan ya..dan…Yes…Netes Dok! Phf…alhamdulilah ya Allah…paling tidak bayi ini ga jadi syok dan perburukan. “Loading cairan 2 kali ya mba..selanjutnya antibiotik coba masukan pelan-pelan bangeet dan tetap cari rujukan, karena IO hanya bisa kita pertahankan 24 jam sampai besok jam dua siang. Lalu mba, setelah pembuluh darahnya terisi, dicoba pasang infus lagi di tempat lain ya Mba,” kata saya pada perawat.
Saya pun pulang dengan separuh kelegaaan, karena setidaknya bayi ini hari ini masih tertolong. Adek-adek dokter insternship yang jaga dengan giat masih terus membantu mencari rujukan, hingga jam 11 malam, masuk lagi pesan ke ponsel saya,”Dokter maaf mau melaporkan, kami sudah berusaha mencari rujukan di 3 kota besar, total 15 rumah sakit dengan yang tadi siang, tapi semua mengatakan penuh, pripun Njih Dok?”
Astaga…15 rumah sakit semua penuh dan menolak? Hah! Saya kembali mengutuk sistem kesehatan di negara ini. Kali ini suami saya yang jadi korban omelan. Lalu dia menyarankan, coba hubungi teman kita, pak Rektor, mungkin bisa ada akses ke RS universitasnya. Alhamdulilahnya saya dikelilingi orang-orang baik, meskipun sudah tengah malam, beliau tetap membalas dan memberikan kontak dokter di RS tersebut. Meskipun, jawaban di pagi harinya menyatakan disana belum ada konsultan NICU dan tidak bisa menerima bayi itu, tapi kebaikan hati mereka yang membantu, sungguh mengharukan.
Keesokan paginya, sedikit kabar baik terdengar, Dok bayinya sudah coba diminumkan pagi ini dan tidak muntah Dok. Setelah saya periksa, bayinya memang betul-betul membaik, bahkan ketika tekanan CPAP diturunkan, bayi pun tidak sesak. Alhamdulilah…tapi kalau sampai jam 14 siang ini akses belum dapat juga dan rujukan belum dapat juga, apa kabar kondisinya? Minum juga baru mulai sedikit.
“Nanti coba kita panggil ada satu lagi Dok perawat yang jago banget menginfus, tapi dari kemarin dihubungi belum bisa,” kata bu Bidan. Baiklah Bu..pokoknya kita coba segala cara ya Bu.
Pagi berlalu dengan cepat, bimbingan dengan dokter internship, visite pasien bangsal lalu berlanjut ke poli anak. Sejenak saya melihat ponsel, dari dokter internship,”Dokter maaf mau melaporkan lagi, hingga pagi ini total sudah 20 rumah sakit di 3 kota besar dihubungi dan semua tetap mengatakan penuh dan menolak, pripun Njih?” Hmh…speechless…percuma mengutuk dalam diam, tak ada yang peduli dan mendengar. Huuuu…batin saya kesal.
Siang menjelang, poli sudah kelar, dan kegalauan kembali datang. Sebentar lagi 24 jam, IO harus dicabut, akses belum dapat, 20 rujukan semua penuh menolak. Haruskah saya menyaksikan bayi yang sudah mulai membaik itu mati pelan-pelan? Hanya karena tidak dapat akses vena dan rujukan? Hanya serendah itukah harga sebuah nyawa? Aaargh…
Ketika curhat kepada seseorang, dia hanya bisa bilang,”Ya gimana lagi ya Dok, kita sudah mengupayakan semuanya, tapi mungkin ya sudah nasibnya bayi itu, hanya sampai disitu.”
Ouch…pedih rasanya mendengarnya. Kalau bayinya memang jelek, prognosis buruk ya okelah ya. Tapi ini bayi membaik dan harus mati pelan-pelan karena keterbatasan alat dan konyolnya supporting sistem di negara ini, sungguh tidak rela rasanya.
Saya cuma bisa berdoa semoga ada keajaiban sambil kembali curhat di WAG dan cry for help,”Gaess help…ga rela banget kalo bayi ini harus mati…”
Benar pepatah bilang, sharing itu melegakan, diskusi dengan banyak kepala itu mencerahkan. Saya sungguh berterimakasih kepada teman-teman seperjuangan.
“Jangan kasih kendor Mba, jangan turunkan standard, keep fighting, tetap semangat yaa…” Yup saat pendidikan, kami memang diajarkan untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan demi pasien, dan alhamdulillah kami masih saling mengingatkan.
“Gimana kalo cari akses umbilical (tali pusat), bisa Mba sampe 7 hari bahkan ada yang bilang 2 minggu, tapi resiko sepsis (infeksi berat) besar sih,” kata seorang kawan.
“ Kalo sudah mulai kering, kompres umbilicalnya pakai Nacl yang lama sampai letoy Mba..”
“Coba cari akses di kepala Mba, kan pembuluh darah sudah terisi, semoga bisa. Tapi anaknya pake topi CPAP ya…hmm…gimana kalo coba pake oksigen nasal/hidung saja, jadi bisa cari akses di kepala, smoga anaknya tidak sesak, bisa cukup dengan oksigen hidung,” kata yang lain…Hmm ide yang bagus.
“IO boleh sampe 48 jam bahkan 72 jam koq mba…kalo baca di literature ini, asal paten aja, dan orangtua dijelaskan resiko sampai terburuk nekrosis dan amputasi sih…” Oke….opsi lain yang melegakan juga.
“Jelek-jeleknya, kasih minum naik cepat mba, drip lama biar ga muntah, kasih obat anti muntah, kasih antibiotik oral,” kata teman lain.
“Jelek-jeleknya, rujuk ke RS swasta mba ke Jakarta kalo perlu. Karena dia ditolak pasti karena BPJS. Cari dana dari donator banyak ko, bahkan bisa diganti ongkos pesawat merujuknya.” Link-link untuk minta donator pun kemudian japri dikirimkan. Wow hebat ya ternyata bisa sejauh itu loh celah-celah upaya yang bisa dilakukan.
Saya pun merangkum hasil diskusi dengan teman-teman, sungguh melegakan, dan ternyata jalan selalu dibukakan.
Menjelang jam 14.00 ketika waktu 1×24 jam untuk IO si bayi hampir selesai, saya kembali menengoknya, dengan plan A, B, dan C di kepala hasil diskusi dengan teman-teman. Terlihat pak perawat yang katanya paling jago serumah sakit dan HP nya ternyata mati baru bisa terhubung, sedang mencoba mencari akses ditemani suster yang jago juga.
“Semoga dapat ya Pak dan bu. Kalo ga dapat rencananya plan A gini, plan B gini dan plan C gini ya…” kata saya menjelaskan.
Kami sudah tidak berharap lagi kepada RS rujukan, hanya berdoa dan berusaha dengan plan-plan yang ada. Tik tok.tik tok..detik-detik menjelang pukul 14.00 tiba…”Dok..dapat nih infusnya!” Yes…alhamdulilah ya Allah..tapi posisinya riskan, dan menetesnya pelan…Duh bakal bengkak lagi ga ya? Semoga tidak, kalau bengkak lagi, kita pakai plan B, lepas CPAP, ganti oksigen di hidung dan infus di kepala. Kalo gagal juga plan C..umbilical…dan seterusnya.
Akhirnya, pukul 14.00 tepat setelah 1×24 jam, karena terlihat bengkak, membayangkan kaki yang jadi menghitam dan harus diamputasi karena infeksi, jarum IO pun dicabut, tak berani saya melanjutkan akses IO lebih dari 24 jam. Akses baru sudah terpasang biarpun menetes pelan, so far cukup lancar.
Subhanallah…alhamdulillah…Saya pulang dengan penuh kelegaan. Never give up. Selalu ada keajaiban nyata dan kekuatan doa yang bekerja setelah usaha sekuat tenaga.
Hari perawatan ke 8, si bayi mulai bisa lepas dari CPAP tanpa sesak. Ia pun sudah bisa minum ASI dari dot tanpa harus via selang, meski belum banyak. Ibunya datang menggendong dan mencoba menetekkan bayinya. Bayi yang awalnya keplek tak berdaya ini, sekarang bisa menatap dan menyentuh ibunya dengan binar mata polosnya.Menyaksikan detik-detik pelukan dan sentuhan pertama antara ibu dan bayi di dadanya ini sungguh membuat hati bergejolak, mengharukan.
Setelah total 11 hari perawatan, dedek bayi pun pulang dengan sehat, semoga tidak ada efek samping juga di kakinya bekas IO. We’ll see. . Semoga kamu tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sholehah ya Dek. Terimakasih untuk pelajaran tentang harga sebuah nyawa darimu. Kisahmu menunjukkan betapa masih banyak sekali peer buat negeri ini.
Tulisan di atas pun mendapatkan berbagai komentar dari netizen seperti berikut ini…
Agusta Reni Asih : “Subhanallah………. Nangis bacanya……. Semoga Allah membalas semua kebaikan dan perjuangan dokter dan tim”
Nur Solihatin : “Alhamdulillah ya Alloh, sy mmbca smbil menangis, teringat anak sy yg baru plg dr opname krn dehidrasi pdhl umurnya baru 41hr.”
‘yuyun’ Sri Wahyuni : “Mlebes air mata.. perjuangannya sama seperti anak saya.. alhamdulillah anak saya di rs besar dan lengkap fasilitasnya… semoga Allah membalas jerih payah dokter.. sehat terus ya nak…”
Bagaimana menurut sahabat pembaca?